TIANG BELAWING WARISAN LELUHUR DAYAK KENYAH DI DESA LONG URO

1758952537464.jpeg

           Tiang belawing (tugu belawing) adalah tradisi budaya Dayak Kenyah yang masih dijaga masyarakat Desa Long Uro, Kecamatan Kayan Selatan, Kabupaten Malinau. Bagi masyarakat setempat, belawing bukan hanya tiang kayu berukir, tetapi simbol identitas, penghormatan leluhur, serta lambang kehormatan bagi keluarga tertentu.

            Tiang belawing dibuat dari kayu keras, biasanya ulin, yang tahan lama. Kayu ini kemudian diukir dengan motif khas Dayak Kenyah, seperti burung enggang, naga, atau tumbuhan. Setiap ukiran memiliki makna khusus, misalnya kekuatan, kesuburan, dan kejayaan. Karena itu, setiap tiang belawing adalah karya seni yang menyimpan pesan spiritual sekaligus sosial bagi masyarakat.

            Dalam adat, tiang belawing biasanya didirikan pada upacara besar, seperti pesta panen atau penghormatan kepada tokoh adat. Namun, tidak semua desa berhak mendirikan tiang belawing. Menurut Pak Leram, salah satu tokoh adat di Long Uro, hanya desa tua atau kampung yang sudah lama berdiri yang diperbolehkan melakukannya. Desa baru tidak memiliki hak tersebut, sebab tiang belawing dianggap menyatu dengan sejarah panjang dan kedalaman tradisi suatu kampung. Dalam wawancara, Pak Leram menegaskan: “Tiang belawing itu hanya boleh ada di desa tua. Kalau kampung baru, mereka tidak bisa mendirikan tiang belawing karena tidak punya sejarah adat yang panjang.”

            Pernyataan ini menegaskan bahwa tiang belawing bukan sekadar tiang kayu berukir, melainkan penanda eksistensi, kewibawaan, serta legitimasi sebuah komunitas Dayak Kenyah. Kehadirannya menunjukkan kedalaman sejarah dan kuatnya ikatan adat yang dimiliki oleh suatu desa.

            Selain simbol adat, tiang belawing juga memperkuat kebersamaan masyarakat. Proses pembuatannya melibatkan gotong royong, mulai dari menebang kayu, mengukir, hingga mendirikan. Melalui kegiatan bersama ini, generasi muda belajar tentang persatuan, kerja sama, dan penghormatan kepada leluhur. Dengan begitu, tiang belawing menjadi sarana pendidikan budaya yang menjaga kesinambungan tradisi.

            Kini, tiang belawing juga dikenal di luar lingkungan adat. Peneliti, wisatawan, dan pecinta budaya tertarik mempelajari nilai dan keindahan ukiran belawing. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat desa Long Uro untuk mengembangkan wisata budaya berbasis kearifan lokal, sekaligus memperkuat identitas masyarakat.

            Tiang belawing di Long Uro adalah bukti nyata bahwa warisan leluhur tetap hidup dan relevan. Ia mengajarkan gotong royong, penghormatan, serta identitas. Dengan menjaga tiang belawing, masyarakat Long Uro tidak hanya melestarikan budaya mereka, tetapi juga memperkaya warisan bangsa Indonesia.

Bagikan post ini: